Minggu, 25 Maret 2012

PEMERIKSAAN DAN PENGAWASAN SANITASI KAPAL


 Sarana transportasi yang dianggap sebagai lingkungan tempat tinggal sementara yang memiliki waktu menetap relative lama adalah kapal laut. Sesuai dengan keadaan tersebut, serta amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut, maka sanitasi di kapal merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mendukung pengawasan kesehatan khususnya manusia di dalamnya maupun masyarakat pada umumnya.
Setiap orang yang berada di kapal harus menjaga sanitasi dan kesehatan kapal seperti sarana sanitasi, suplai makanan dan kebersihan lingkungan di kapal. Sanitasi kapal tidak mungkin terwujud tanpa kerjasama setiap Anak Buah Kapal (ABK). Nahkoda berkewajiban menjaga kondisi sanitasi setiap saat dan secara berkala memeriksa kondisi sanitasi di atas kapal (CDC, 2003).
Sanitasi kapal merupakan salah satu bagian integral dari perilaku kesehatan terhadap sanitasi. Mengacu pada dasar tersebut determinan perilaku sanitasi kapal dapat mengacu pada konsep determinan perilaku kesehatan yang dikemukakan Blum (1979), bahwa derajat kesehatan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh faktor perilaku dan lingkungan selain pelayanan kesehatan dan keturunan.
Menurut Permenkes No. 530/Menkes/Per/VII/1987, sanitasi kapal adalah segala usaha yang ditujukan terhadap faktor lingkungan di kapal untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit guna memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan. Sanitasi kapal berlaku untuk semua jenis kapal baik kapal penumpang, maupun kapal barang. Pemeriksaan sanitasi kapal dimaksudkan untuk pengeluaran sertifikat sanitasi guna memperoleh Surat Izin Kesehatan Berlayar (SIKB). Hasil pemeriksaan dinyatakan berisiko tinggi atau risiko rendah, jika kapal yang diperiksa dinyatakan risiko tinggi maka diterbitkan Ship Sanitation Control Certificate (SSCC) setelah dilakukan tindakan sanitasi dan apabila faktor risiko rendah diterbitkan Ship Sanitation Exemption Control Certificate (SSCEC), dan pemeriksaan dilakukan dalam masa waktu enam bulan sekali (WHO, 2007).
Adapun institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan adalah Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Menurut Permenkes No.356/Menkes/IV/2008, bahwa KKP mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial wabah, kekarantinaan, pelayanan kesehatan terbatas di wilayah kerja Pelabuhan / Bandara dan Lintas Batas, serta pengendalian dampak kesehatan lingkungan.
Upaya sanitasi kapal merupakan tanggung jawab pemilik kapal melalui nakhoda kapal dan anak buah kapal. ABK bertanggung jawab terhadap kebersihan kapal dan sarana lainnya yang mendukung sanitasi kapal. Peningkatan sanitasi kapal adalah usaha merubah keadaan lingkungan alat angkut yang dapat berlayar menjadi lebih baik sebagai usaha pencegahan penyakit dengan memutuskan mata rantai penularan penyakit. Tujuan peningkatan sanitasi kapal menurut permenkes No. 530/Menkes/Per/VII/1987 adalah:
1.      Meniadakan / menghilangkan sumber penularan penyakit di dalam kapal.
2.      Agar kapal tetap bersih sewaktu mau berangkat maupun sedang berlayar.
3.      Supaya penumpang maupun ABK senang berada didalamnya, bagi penumpang.
International Health Regulations (IHR) 2005 menekankan pengawasan di pintu keluar masuk suatu negara melalui pelabuhan maupun lintas batas. Untuk itu Sertifikat Sanitasi kapal (SSCC dan SSCEC) diperlukan sebagai alat bantu suatu negara dalam mengurangi faktor risiko penyebaran penyakit akibat dari pelayaran kapal Nasional dan Internasional.
Menurut IHR tahun 2005, kapal yang sudah dinyatakan layak sanitasinya akan diberikan sertifikat sanitasi sesuai dengan IHR tahun 2005, sertifikat Ship Sanitation Control Exemption Certificate (SSCEC) berlaku maksimal selama 6 bulan. Masa berlaku ini dapat diperpanjang satu bulan jika pemeriksaan atau pengawasan yang diminta tidak dapat dilaksanakan di pelabuhan. 
              Dalam rangka pemeriksaan dan pengawasan sanitasi kapal yang baik diperlukan adanya pencegahan dan pengawasan yang terus-menerus dengan melakukan koordinasi yang terpadu dan terarah baik dari awak kapal maupun pemilik kapal itu sendiri. Adapun standar dalam pemeriksaan sanitasi kapal laut berdasarkan Ditjen PPM dan PLP Depkes RI (1989) adalah sebagai berikut: 
               Dek: Tiap hari dek dibersihakn sedikitnya satu kali, bila basah dikeringkan, kotoran / sampah tidak boleh berserakan dan semua barang-barang / alat-alat diatur dengan rapi. Dek yang bersih dan rapi selain mencegah penyakit kecelakaan juga memberikan kesan awal yang baik bagi setiap pengunjung serta membuat orang / penumpang betah tingal di dalam kapal. 
   Kamar ABK dan Penumpang:  Ventilasi dan penerangan yang cukup serta kebersihan dapat menjamin kesehatan, kesejahteraan serta keamanan ABK maupun penumpang. Bila penerangan secara alami tidak mencukupi, maka diberikan penerangan secara mekanis dengan menggunakan lampu neon. Alat penerangan di dalam kapal tidak boleh menggunakan lilin atau lampu minyak.
Tujuan adanya ventilasi adalah untuk memasukkan udara segar dan mengeluarkan udara yang kotor. Bila kamar tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik, akan menimbulkan beberapa keadaan yang dapat merugikan kesehatan seperti sesak nafas.
 Kamar Mandi dan Kakus sebaiknya setiap waktu dalam keadaan bersih. Di dalam kamar mandi juga sebaiknya tersedia pembersih lantai atau kreolin 5% dalam larutan air dan selalu tersedia air bersih yang cukup serta memenuhi syarat kesehatan. Diusahakan agar penyaluran air kotor lancar. Diusahakan agar penyaluran air kamar mandi dan kakus tidak diperkenankan sebagai tempat penyimpanan. Di samping itu, kran harus berfungsi dengan baik, lantai tidak boleh licin dan tidak diperkenankan para penumpang untuk mencuci alat makan dalam kamar mandi / kakus. 
Dapur merupakan tempat penyimpanan dan tempat pencucian alat-alat dapur (alat makan / minum, dan sebagainya). Makanan dan minuman yang disediakan, diolah, disimpan dan disajikan harus secara hygienis untuk memperkecil kemungkinan timbulnya penyakit seperti disentri, cholera, typus, keracunan dan sebagainya.
               Kamar Pendingin, thermometer ditempatkan di kamar pendingin dengan suhu ruangan 100C.
                      Tempat Penyimpanan Makanan yang tak membusuk:      Selain bersih tempat penyimpanan makanan juga memerlukan ventilasi yang cukup, makanan yang berserakan akan menarik tikus dan serangga; Pengaturan barang harus sedemikian rupa, sehingga tikus tidak bersembunyi / bersarang di antara barang-barang;  Pestisida dan sejenisnya dilarang disimpan di tempat penyimpanan makanan. 
                  Pengelola makanan:     Mempunyai perilaku hygienis dan saniter yaitu: selalu mencuci tangan bila kotor, menutup hidung dan mulut sewaktu batuk / bersin dan tidak merokok sewaktu bertugas; Personal hygienis harus diperhatikan yaitu: tidak menderita penyakit menular, berpakain bersih, badan, rambut tangan dan kuku bersih;  Bila ada pengelola makanan yang terdapat dibebaskan sementara dari food handling, maka pengelola tersebut tidak dapat mengelola makanan sampai ia tidak lagi merupakan sumber penularannya.
 Persediaan air bersih:  Air bersih sangat diperlukan dalam berbagai kegiatan di kapal untuk kegiatan  memasak air minum dan makanan, mencuci, keperluan mandi dan sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum (termasuk untuk masak) air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.
 

DAFTAR PUSTAKA
 
Ditjen PPM dan PLP Depkes RI, 1989, Manual Kantor Kesehatan Pelabuhan, Jakarta.

Permenkes No.356/Menkes/Per/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, Jakarta.
 
Permenkes No. 530/Menkes/Per/VII/1987, tentang Sanitasi kapal, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut.

WHO, 2005, Internasional Health Regulation (IHR), Geneva, Swiss.

_____, 2007, International Health Regulation Guide to Ship Sanitation Third Edition, Version 10, Geneva, Swiss.

KASUS DANISH BEER BOTTLE


Danish beer bottle merupakan kasus antara Denmark dan Masyarakat Eropa. Kasus ini menerapkan ketentuan hukum internasional regional yaitu hukum Masyarakat Eropa. Kasus ini bermula dari tindakan Denmark yang mengeluarkan peraturan mengenai masalah penggunaan botol bir yang didaur ulang pada tahun 1981. Denmark menerapkan persyaratan sistem daur ulang terbaru pada tahun 1981, yang membatasi tipe kemasan yang digunakan untuk botol minuman. Persyaratan yang diperlukan dalam pemesannya dalam rangka untuk meningkatkan efesiensi dan tingkat keberhasilan dari sistem daur ulang terbaru tersebut.
Sukarelawan Sistem Daur Ulang Denmark (NGO ) untuk kemasan bir dan minuman ringan melakukan operasi / riset untuk periode tersebut dan  pada awalnya sukses, dimana kemasan yang dimiliki mempunyai nilai dan dikembalikan untuk dapat di daur ulang. Menurut mereka sistem ini diperbolehkan karena tingkat pengembaliannya yang tinggi. Hal tersebut akan mengurangi jumlah sampah dan nilai bahan baku yang efisien.
Pada mulanya pertengahan tahun 1970 an, produsen bir Denmark mulai menggunakan kaleng dan berbentuk botol yang berbeda, sistem itu mulai dihancurkan. Karena konsumen tidak lagi mengembalikan ke pedagang , tetapi mereka dipaksa untuk ke tempat pembelian, hal ini akan merasa sangat lebih sulit, sehingga tingkat pengembalian kaleng tersebut menurun.
Pada tanggal 8 Agustus 1979 pemerintah mencoba untuk mengimpelemntasikan larangan dan membatasi tipe kemasan penggunaan bahan baku, yang digunakan untuk bir dan minuman ringan menggunakan kemasan berbentuk logam dan plastik. Pada tanggal 2 Juli 1981, pemerintah memutuskan untuk menerapkan sistem yang lebih tegas dari sebelumnya bahwa tidak hanya sekedar daur ulang, namun membentuk sebuah sistem baru untuk pemakaian ulang bir dan minuman berbentuk kemasan. Berdasarkan undang-undang Pasal 1 (2) menyatakan bahwa produsen hanya dapat menggunakan merek botol yang bertanda KEMASAN BISA DIKEMBALIKAN ” yang akan dikumpulkan, dapat diisi ulang dan dapat dipergunakan kembali.
Dalam pengaturan kebijakan jumlah yang di produksi, pemerintah melakukan pembatasan terhadap tipe kemasan, dengan tujuan untuk keberhasilan dari sistem pemanfaatan daur ulang tersebut. Pemerintah memprediksikan bahwa yang berbeda hanya 30 jenis kemasan yang ada dipasaran dengan sistem kemasan botol, karena dengan sistem botol nilai ekonomisnya akan lebih efisien untuk daur ulang daripada kemasan berbentuk plastik dan logam.
Peraturan ini sebenarnya telah disetujui National Environmental Protection Agency yang mana dapat menolak botol baru jika kemampuannya sama dengan botol yang telah didaur ulang kecuali dalam bentuk kaleng. Sehingga impor atas botol-botol baru dapat dikurangi. Penggunaan botol bir daur ulang ini ternyata berimbas pada negara-negara Eropa khususnya Jerman dan Inggris merasa dirugikan dengan perjanjian tersebut, sehingga akhirnya mereka mengadu kepada Dewan Komisi Eropa dan memaksa Denmark untuk melakukan negoisasi agar pemerintah Denmark tidak lagi menggunakan aturan daur ulang tersebut termasuk pengecualian klausal. 
Pada tanggal 16 Desember 1986 gugatan diajukan oleh komisi Eropa kepada Mahkamah Eropa (European Court of Justice/ECJ) dengan alasan pelanggaran pasal 30 Perjanjian Roma mengenai kebebasan bergerak atas barang-barang. Denmark beralasan bahwa hal ini sudah dilakukan dengan penggunaan suatu sistem yang baik dan merupakan upaya perlindungan lingkungan. Ternyata hukum Eropa belum memiliki ketentuan mengenai masalah ini. Komisi kemudian menyatakan bahwa penerapan hukum Denmark atas sistem ini tidak diterapkan untuk impor sama seperti ketentuan yang berlaku di dalam negeri. Dalam memproduksi bentuk kemasan yang dikembalikan atau daur ulang  diharuskan sesuai standar yang telah ditentukan. Persetujuan tersebut harus melalui Badan Perlindungan Lingkungan, badan ini memiliki hak untuk menolak aplikasi jika produsen tidak memproduksi sesuai dengan ukuran dan kapasitas yang sama.

GLOBAL WARMING

      Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatkan suhu permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah-ubah secara alami, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suhu global cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan data yang terekam sebelumnya. Dan situasi dan perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir khususnya dalam dekade di akhir abad 20 dan awal abad 21 (Winarso, 2009).
       Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Seperti yang telah kita ketahui segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat (Winarso, 2009).
        Menurut Wisnu (2010) gas rumah kaca adalah gas yang timbul secara alamiah dan merupakan akibat dari kegiatan industri, baik itu melalui penggunaan bakar fosil untuk kepentingan industri, transportasi tanpa diimbangi penanaman pepohonan untuk menyerap CO2. Contoh gas rumah kaca adalah CO2 (karbon dioksida), CH4 (methana), NO (nitogen oksida), CFC (chloro fluoro carbon), HFC (hidro fluoro carbon), PFC (perfluoro carbon) SF6 (sulphur heksafluoro). Jika GRK terlepas ke atmosfer dan sampai pada ketinggia troposfer, akan terbentuk lapisan “selimut” atau “rumah kaca” yang mengkungkung bumi. Gas rumah kaca inilah yang akan memantulkan sebagian panas dari bumi kembali lagi ke bumi dan atmosfer menjadi hangat. Bila hal ini terus berlanjut, dunia terancam mengalami pemanasan global.
        Selanjutnya, menurut Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang termasuk dalam gas rumah kaca diantaranya CO2, NO2, CH4, SF6, PFCs, dan HFCs. CO2, NO2, dan CH4 sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil baik dari sektor industri maupun dari transportasi. Sementara SF6, PFCs, dan HFCs sebagian besar merupakan hasil pemakaian aerosol. Gas-gas ini menyumbang kurang dari 1%, tetapi tingkat pemanasannya jauh lebih tinggi dibandingkan CO2, NO2, maupun CH4. Tingkat pemanasan ini ditunjukkan oleh indeks potensi pemanasan global. Dalam indeks ini CO2 digunakan sebagai parameter. (Winarso, 2009).
       Menurut National Geographic yang disadur oleh Agus (2008) bahwa setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metan menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.
          Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 60% (Mimuroto and Koizumi, 2003). Hal tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini:
         Emisi CO2 di dunia meningkat dari sebesar 18,3 milyar ton CO2 pada tahun 1980 menjadi sebesar 27,0 milyar ton CO2 atau rata-rata meningkat sebesar 1,6% per tahun. Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2 yang terbesar, yaitu mencapai 21,9% dari total emisi CO2 dunia pada tahun 2004, diikuti oleh China (17,4%) dan India (4,1%). Sedangkan Indonesia hanya menyumbang emisi sebesar 1,2% dari total emisi CO2 dunia. Meskipun Indonesia tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi, namun turut serta berinisiatif melakukan strategi untuk menguranginya.
Emisi CO2 dapat berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak bumi dan gas bumi, serta dari industri semen dan konversi lahan. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri semen sebesar 3%. 
Gambaran proses efek rumah kaca yang berdampak terhadap pemanasan global dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Panas matahari sebagian diserap oleh bumi sebesar 160 watt/m2 dan memanasi bumi

Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer

Panas matahari sebagian dipantulkan oleh bumi dan diteruskan oleh atmosfer

Panas matahari sebagagian dipantulkan kembali oleh GRK (Gas Rumah Kaca) sebsesar 30 watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmoesfer dan lingkungan jadi panas


DAFTAR PUSTAKA

Agus, 2008.htp://science.nationalgeographic.com/science/environment /global-warming/gw-causes.html?nav=FEATURES. Diakses tanggal 14 Februari 2012.

Arya Wardhana, Wisnu, 2010. Dampak Pemanasan Global.  Andi: Yogyakarta.
Gatut Susanta dan Hari Sutjahjo, Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Penebarplus+, Jakarta, 2007,

IPCC (2001), Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability, Summary for Policy Makers, Working Group 2 3rd Assessment Report, Draft., http://www.usgcrp.gov/ipcc/html/specrep.html, diakses tanggal 14 Februari 2012.

Subandono Diposaptono, Budiman dan Firdaus Agung, Menyiasati Perubahn Iklim Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor, 2009.

Sugiyono, 2006. Penanggulangan Pemanasan Global di Sektor Pengguna Energi. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 7, No. 2, 2006 : 15-19.
Waryono., Tarsoen,. 2008. Konsepsi Pembangunan Hutan Kota Berwawasan Lingkungan. Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia.

Winarso, P.A. 2009. Modul Pemanasan dan Perubahan Iklim Global. Akademi Meteorologi dan Geofisika: Jakarta.

Mimuroto, Y. and Koizumi, K. (2003) Global Warming Abatement and Coal Supply and Demand, Institute of Energy Economics Japan (IEEJ), January 2003.


BAKU MUTU UDARA AMBIENT DAN DAMPAK PENCEMARAN UDARA TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN

       Baku mutu udara ambient adalah batas kadar yang diperbolehakan bagi zat atau bahan pencemar yang ada di udara, namun tidak menimbu...